Pemulung ulung di Senja Hari
Senja
itu, matahari mulai menyembunyikan cahaya kuning keemasannya yang mewah di ufuk
barat dunia. Sesosok tubuh mungil berjalan menyusuri gang kecil menciptakan
bayangan yang bergoyang seiring langkah kakinya. Sebuah karung putih
berselempang di bahunya sebelah kiri, tongkat kecil panjang berbahan besi
terpegang erat di tangan kirinya. Dengan tongkat kecil berujung L itu ia
mengais di setiap tempat berisi buangan limbah rumah tangga.
Kakinya
yang mulai lelah melangkah tak beraturan membawa tubuhnya kembali ke tempat
peristirahatannya, hanya beralaskan papan, berdinding triplek tipis dan beratap
seng, dinginnya udara malam menerobos melewati celah lubang tak tertutup di
berbagai sisi rumah. Tak ada kasur yang empuk sebagai alas tidur juga tak ada
selimut tebal sebagai penghangat tubuh.
Air hujan jatuh melalui celah atap seng yang sudah berkarat, baskom besar di letakkan di bawahnya sebagai penadah air hujan agar tak ada genangan air memasuki rumah berlantai tanah itu. Suara air hujan yang menetes ke dalam baskom membentuk sebuah irama beraturan sebagai pengantar tidurnya.
Panjang
kaki yang tak sejajar tak menyurutkan semangatnya setiap ia memulai pekerjaan. Kakinya
terus melangkah dengan cepat menuju kotak sampah yang satu ke tempat sampah
yang lainnya. Dari tumpukan limbah-limbah itu ia mencoba peruntungannya, bau
menyengat sudah menjadi teman akrab hidungnya setiap saat.
Ketika
terik matahari menyengat kulit, haus melanda tenggorokannya yang kering.
Sesekali ia memandang penjual jus di pinggir jalan, lehernya tertegun menelan
air ludahnya. Tapi tak ada sepeser pun uang ketika ia merogoh ke dalam kantong
celananya yang lusuh oleh goresan-goresan sampah. Hanya air putih di dalam
botol minum bekas bekal dari sang ibu sebagai pelepas dahaganya.
Hatiku
terenyuh menatapnya dari kejauhan.
“Apa
kamu mau jus dek?”. Tanyaku menawarinya.
Ia
hanya menggelengkan kepalanya yang menunduk lalu pergi berlalu meninggalkanku
tanpa sebuah jawaban. Tapi dari pengamatanku setiap hari, dapat ku simpulkan
bahwa ia sangat menginginkannya.
Bukan
pilihannya, tetapi takdir yang memaksanya melakoni kenyataan pahit ini.
Terlahir dari sebuah keluarga kecil sangat sederhana, seorang bapak yang
bekerja sebagai pemulung dan ibu sebagai buruh cuci membuat ridho, begitu
namanya, harus menjalani kenyataan pahit ini. Di tinggal sang bapak pergi untuk
selama-lamanya membuatnya memutuskan berhenti sekolah ketika duduk di bangku
kelas 1 smp, meskipun pemerintah mencanangkan biaya pendidikan gratis sampai
pendidikan tingkat SMA. Ia memutuskan berhenti sekolah untuk membantu sang ibu
mencari nafkah untuk kedua adiknya yang masih balita.
Salah
satu adiknya di diagnosa menderita gizi buruk setelah di periksa oleh seorang
bidan desa setempat. Bapaknya meninggal karena penyakit malaria, karena
ketidakadaan biaya sang bapak akhirnya meninggal dunia tanpa mendapat
perawatan. Sungguh ironis, di zaman pemerintahan yang selalu menggembar
gemborkan semua pelayanan untuk rakyat seperti ini masih ada seseorang
meninggal tanpa mendapatkan penanganan medis.
Sekali
aku memberanikan diri bertanya padanya.
“Kenapa
kamu mau melakukan pekerjaan ini?” tanyaku menatap wajah polos yang letih itu.
“Karena
kami butuh uang untuk terus bertahan hidup”. Jawab ridho dengan begitu lugas.
“Apa
kamu tidak malu?”. Aku bertanya padanya.
“Pekerjaan
ini halal”, jawabnya sambil menundukkan wajahnya. “Seandainya boleh
berandai-andai, saya juga tidak ingin melakukannya dan berandai-andai saya
mempunyai uang yang banyak, punya mobil yang mewah, baju yang bagus dan juga
rumah yang besar. Tapi setiap saya membuka mata, saya segera sadar bahwa hanya
“berandai-andai”lah yang bisa saya lakukan”. Tambahnya.
Sementara
itu......
Di
mall mall besar selalu diramaikan oleh sekelompok besar orang-orang dengan
gelimangan harta. Kantong-kantong plastik besar bermerk tergantung berdesakan
di masing-masing tangan mereka.
Di
club-club malam, banyak remaja menghambur-hamburkan uang pemberian orang tua
yang memanjakan kehidupan anaknya, berfoya-foya dengan pesta perayaan yang tak
berguna.
Dari
layar televisi setiap hari selalu gencar di beritakan tentang kasus korupsi
oleh para petinggi negara, penyelewengan dana oleh para petugas instansi
pemerintahan. Mobil mewah bermerk internasional yang selalu mereka tumpangi,
jas bermerk dengan harga nominal yang mengandung 6 angka nol yang selalu mereka
pakai, ternyata tak cukup menunjang kehidupan mereka. Kehidupan mewah yang
selalu bergelimangan harta, emas dan berlian melingkar menghiasi jari jemari
lentik mereka.
Kepalanya
selalu mendongak ke atas, sepatu hitamnya yang licin mengkilap tak pernah
menginjak tanah bergenang air. Tapi betapa hebatnya mereka berkata dalam
kemunafikan:
“Bekerja
untuk rakyat, membela rakyat kecil, kita harus menegakkan hak-hak rakyat,
blaa...blaa...blaaaa.......”.
Pada
kenyataannya, janji yang mereka gembar-gemborkan tak pernah sampai ke tangan
rakyat kecil. Rakyat kecil justru selalu tertindas oleh peraturan-peraturan
yang di buat oleh kalangan petinggi negeri ini.
Entahlah, bagaimana dunia saat ini
bekerja. Ketika sekelompok kecil orang hidup di dalam kekurangan, sekelompok
besar orang hidup dengan kemewahan dan bergelimpangan harta.
Langit biru siang itu menemaniku,
tanganku menggoreskan pena pada lembaran-lembaran catatan di bawah rindangnya
pohon mangga di taman bunga. Baris demi baris catatanku telah terisi oleh
tulisan ungkapan perasaan yang mengalir dari dalam pikiranku. “Pemulung ulung
di senja hari”, aku hampir menyelesaikannya. Pihak penerbit telah menerima
sodoran buku cerita yang aku tulis dan memintaku segera menyelesaikannya.
Hatiku kelu, teringat tubuh mungil
ridho menatap nanar jus buah di pinggir jalan waktu itu sehingga membawaku pada
penjual jus ini. Setelah memesan 5 gelas jus jumbo aku membawanya menyusuri
gang kecil menuju rumah berdinding seng di ujung gang.
Sejatinya, bangunan itu tak layak di
sebut sebagai rumah. Bahkan gubuk di sawah orang tuaku yang di desa jauh lebih
layak di tempati daripada bangunan yang ada di depanku saat ini.
Seorang wanita memakai daster lusuh
menggendong anaknya, tubuh anak itu kecil, sangat kecil dan tubuhnya lemah.
Seorang anak laki-laki dan perempuan kecil sedang duduk menghadap karung putih,
dari gerak-geriknya seepertinya mereka sedang memilah benda-benda di dalamnya.
“Permisi”.
Aku mendekat menyapa mereka.
Ketiga
orang itu hanya melihatku dengan tatapan penuh tanya.
“Siapa
ya?”. Tanya si wanita berdaster itu.
“Saya
Lina, boleh saya mampir sebentar?” Aku memperkenalkan diri.
“Ada
apa? Apa anak saya membuat masalah dengan anda?”. Tanya wanita itu cemas.
“Tidak
bu, saya adalah seorang mahasiswi sastra di Universitas Negeri di kota ini.
Saya membuat cerita dari pengamatan saya kepada anak ibu, ridho”. Aku menjelaskan,
menghapuskan kecemasan wanita itu.
“Ridhoo!!”.
Teriak wanita itu memanggil anaknya.
Ridho
berlari mendekat menghampiri kami, disusul anak perempuan kecil di belakangnya.
“Ini
dek!”. Aku menyodorkan jus jumbo yang aku bawa.
Matanya
yang belok menatap wajah sang ibu, seolah bertanya “Apa boleh aku menerimanya?”
Sang
ibu mengangguk tersenyum. Tangan mungil ridho mengambil jus yang kubawa dan
membagikannya kepada kami semua, warna hitam mengotori kuku di setiap ujung
jari-jarinya.
Rasa
senang tersirat dengan jelas di raut wajahnya, senyumnya mengembang sembari
menikmati tegukan demi tegukan jusnya. Matanya tak beralih dari mengamati setiap
sisi jus yang terbungkus gelas plastik.
“Saya
datang kesini untuk mengucapkan terima kasih sama kamu dek”. Aku memegang
punggung ridho.
“Kenapa
dek?”. Tanya sang ibu kepadaku.
“Karena
ridho telah memberikan inspirasi kepada saya untuk membuat sebuah buku novel.
Setiap hari saya selalu mengamatinya dari kejauhan, saya mencari informasi
dengan bertanya kepada beberapa orang yang mengenalinya. Perjuangannya dalam
menjalani hidup dan tanggung jawabnya yang besar kepada keluarga, memberikan
inspirasi yang hebat buat saya, hingga akhirnya buku saya di terima oleh
penerbit. Sebentar lagi buku saya akan di terbitkan”. Jawabku panjang lebar
menjelaskan kepada mereka.
Sang
ibu mengusap-usap kepala anaknya, setetes air jatuh berlinang dari sudut
matanya. Rona kegembiraan tersirat jelas di wajahnya yang mulai menua karena
usia.
“Terima
kasih dek!”. Aku menggenggam tangannya yang mungil.
Kami
berempat duduk di depan rumah kecil itu, di atas gelaran kardus bekas yang di
kumpulkan ridho , menikmati jus di bawah langit yang mulai gelap, dengan cahaya
kuning keemasan matahari di ufuk barat senja hari.
Semoga bermanfaat..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar