Kamis, 25 Juli 2013

Cerita


Pemulung ulung di Senja Hari
Senja itu, matahari mulai menyembunyikan cahaya kuning keemasannya yang mewah di ufuk barat dunia. Sesosok tubuh mungil berjalan menyusuri gang kecil menciptakan bayangan yang bergoyang seiring langkah kakinya. Sebuah karung putih berselempang di bahunya sebelah kiri, tongkat kecil panjang berbahan besi terpegang erat di tangan kirinya. Dengan tongkat kecil berujung L itu ia mengais di setiap tempat berisi buangan limbah rumah tangga.
Kakinya yang mulai lelah melangkah tak beraturan membawa tubuhnya kembali ke tempat peristirahatannya, hanya beralaskan papan, berdinding triplek tipis dan beratap seng, dinginnya udara malam menerobos melewati celah lubang tak tertutup di berbagai sisi rumah. Tak ada kasur yang empuk sebagai alas tidur juga tak ada selimut tebal sebagai penghangat tubuh.

Air hujan jatuh melalui celah atap seng yang sudah berkarat, baskom besar di letakkan di bawahnya sebagai penadah air hujan agar tak ada genangan air memasuki rumah berlantai tanah itu. Suara air hujan yang menetes ke dalam baskom membentuk sebuah irama beraturan sebagai pengantar tidurnya.
Panjang kaki yang tak sejajar tak menyurutkan semangatnya setiap ia memulai pekerjaan. Kakinya terus melangkah dengan cepat menuju kotak sampah yang satu ke tempat sampah yang lainnya. Dari tumpukan limbah-limbah itu ia mencoba peruntungannya, bau menyengat sudah menjadi teman akrab hidungnya setiap saat.
Ketika terik matahari menyengat kulit, haus melanda tenggorokannya yang kering. Sesekali ia memandang penjual jus di pinggir jalan, lehernya tertegun menelan air ludahnya. Tapi tak ada sepeser pun uang ketika ia merogoh ke dalam kantong celananya yang lusuh oleh goresan-goresan sampah. Hanya air putih di dalam botol minum bekas bekal dari sang ibu sebagai pelepas dahaganya.
Hatiku terenyuh menatapnya dari kejauhan.
“Apa kamu mau jus dek?”. Tanyaku menawarinya.
Ia hanya menggelengkan kepalanya yang menunduk lalu pergi berlalu meninggalkanku tanpa sebuah jawaban. Tapi dari pengamatanku setiap hari, dapat ku simpulkan bahwa ia sangat menginginkannya.
Bukan pilihannya, tetapi takdir yang memaksanya melakoni kenyataan pahit ini. Terlahir dari sebuah keluarga kecil sangat sederhana, seorang bapak yang bekerja sebagai pemulung dan ibu sebagai buruh cuci membuat ridho, begitu namanya, harus menjalani kenyataan pahit ini. Di tinggal sang bapak pergi untuk selama-lamanya membuatnya memutuskan berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas 1 smp, meskipun pemerintah mencanangkan biaya pendidikan gratis sampai pendidikan tingkat SMA. Ia memutuskan berhenti sekolah untuk membantu sang ibu mencari nafkah untuk kedua adiknya yang masih balita.
Salah satu adiknya di diagnosa menderita gizi buruk setelah di periksa oleh seorang bidan desa setempat. Bapaknya meninggal karena penyakit malaria, karena ketidakadaan biaya sang bapak akhirnya meninggal dunia tanpa mendapat perawatan. Sungguh ironis, di zaman pemerintahan yang selalu menggembar gemborkan semua pelayanan untuk rakyat seperti ini masih ada seseorang meninggal tanpa mendapatkan penanganan medis.
Sekali aku memberanikan diri bertanya padanya.
“Kenapa kamu mau melakukan pekerjaan ini?” tanyaku menatap wajah polos yang letih itu.
“Karena kami butuh uang untuk terus bertahan hidup”. Jawab ridho dengan begitu lugas.
“Apa kamu tidak malu?”. Aku bertanya padanya.
“Pekerjaan ini halal”, jawabnya sambil menundukkan wajahnya. “Seandainya boleh berandai-andai, saya juga tidak ingin melakukannya dan berandai-andai saya mempunyai uang yang banyak, punya mobil yang mewah, baju yang bagus dan juga rumah yang besar. Tapi setiap saya membuka mata, saya segera sadar bahwa hanya “berandai-andai”lah yang bisa saya lakukan”. Tambahnya.
Sementara itu......
Di mall mall besar selalu diramaikan oleh sekelompok besar orang-orang dengan gelimangan harta. Kantong-kantong plastik besar bermerk tergantung berdesakan di masing-masing tangan mereka.
Di club-club malam, banyak remaja menghambur-hamburkan uang pemberian orang tua yang memanjakan kehidupan anaknya, berfoya-foya dengan pesta perayaan yang tak berguna.
Dari layar televisi setiap hari selalu gencar di beritakan tentang kasus korupsi oleh para petinggi negara, penyelewengan dana oleh para petugas instansi pemerintahan. Mobil mewah bermerk internasional yang selalu mereka tumpangi, jas bermerk dengan harga nominal yang mengandung 6 angka nol yang selalu mereka pakai, ternyata tak cukup menunjang kehidupan mereka. Kehidupan mewah yang selalu bergelimangan harta, emas dan berlian melingkar menghiasi jari jemari lentik mereka.
Kepalanya selalu mendongak ke atas, sepatu hitamnya yang licin mengkilap tak pernah menginjak tanah bergenang air. Tapi betapa hebatnya mereka berkata dalam kemunafikan:
“Bekerja untuk rakyat, membela rakyat kecil, kita harus menegakkan hak-hak rakyat, blaa...blaa...blaaaa.......”.
Pada kenyataannya, janji yang mereka gembar-gemborkan tak pernah sampai ke tangan rakyat kecil. Rakyat kecil justru selalu tertindas oleh peraturan-peraturan yang di buat oleh kalangan petinggi negeri ini.
            Entahlah, bagaimana dunia saat ini bekerja. Ketika sekelompok kecil orang hidup di dalam kekurangan, sekelompok besar orang hidup dengan kemewahan dan bergelimpangan harta.
            Langit biru siang itu menemaniku, tanganku menggoreskan pena pada lembaran-lembaran catatan di bawah rindangnya pohon mangga di taman bunga. Baris demi baris catatanku telah terisi oleh tulisan ungkapan perasaan yang mengalir dari dalam pikiranku. “Pemulung ulung di senja hari”, aku hampir menyelesaikannya. Pihak penerbit telah menerima sodoran buku cerita yang aku tulis dan memintaku segera menyelesaikannya.
            Hatiku kelu, teringat tubuh mungil ridho menatap nanar jus buah di pinggir jalan waktu itu sehingga membawaku pada penjual jus ini. Setelah memesan 5 gelas jus jumbo aku membawanya menyusuri gang kecil menuju rumah berdinding seng di ujung gang.
            Sejatinya, bangunan itu tak layak di sebut sebagai rumah. Bahkan gubuk di sawah orang tuaku yang di desa jauh lebih layak di tempati daripada bangunan yang ada di depanku saat ini.
            Seorang wanita memakai daster lusuh menggendong anaknya, tubuh anak itu kecil, sangat kecil dan tubuhnya lemah. Seorang anak laki-laki dan perempuan kecil sedang duduk menghadap karung putih, dari gerak-geriknya seepertinya mereka sedang memilah benda-benda di dalamnya.
“Permisi”. Aku mendekat menyapa mereka.
Ketiga orang itu hanya melihatku dengan tatapan penuh tanya.
“Siapa ya?”. Tanya si wanita berdaster itu.
“Saya Lina, boleh saya mampir sebentar?” Aku memperkenalkan diri.
“Ada apa? Apa anak saya membuat masalah dengan anda?”. Tanya wanita itu cemas.
“Tidak bu, saya adalah seorang mahasiswi sastra di Universitas Negeri di kota ini. Saya membuat cerita dari pengamatan saya kepada anak ibu, ridho”. Aku menjelaskan, menghapuskan kecemasan wanita itu.
“Ridhoo!!”. Teriak wanita itu memanggil anaknya.
Ridho berlari mendekat menghampiri kami, disusul anak perempuan kecil  di belakangnya.
“Ini dek!”. Aku menyodorkan jus jumbo yang aku bawa.
Matanya yang belok menatap wajah sang ibu, seolah bertanya “Apa boleh aku menerimanya?”
Sang ibu mengangguk tersenyum. Tangan mungil ridho mengambil jus yang kubawa dan membagikannya kepada kami semua, warna hitam mengotori kuku di setiap ujung jari-jarinya.
Rasa senang tersirat dengan jelas di raut wajahnya, senyumnya mengembang sembari menikmati tegukan demi tegukan jusnya. Matanya tak beralih dari mengamati setiap sisi jus yang terbungkus gelas plastik.
“Saya datang kesini untuk mengucapkan terima kasih sama kamu dek”. Aku memegang punggung ridho.
“Kenapa dek?”. Tanya sang ibu kepadaku.
“Karena ridho telah memberikan inspirasi kepada saya untuk membuat sebuah buku novel. Setiap hari saya selalu mengamatinya dari kejauhan, saya mencari informasi dengan bertanya kepada beberapa orang yang mengenalinya. Perjuangannya dalam menjalani hidup dan tanggung jawabnya yang besar kepada keluarga, memberikan inspirasi yang hebat buat saya, hingga akhirnya buku saya di terima oleh penerbit. Sebentar lagi buku saya akan di terbitkan”. Jawabku panjang lebar menjelaskan kepada mereka.
Sang ibu mengusap-usap kepala anaknya, setetes air jatuh berlinang dari sudut matanya. Rona kegembiraan tersirat jelas di wajahnya yang mulai menua karena usia.
“Terima kasih dek!”. Aku menggenggam tangannya yang mungil.
Kami berempat duduk di depan rumah kecil itu, di atas gelaran kardus bekas yang di kumpulkan ridho , menikmati jus di bawah langit yang mulai gelap, dengan cahaya kuning keemasan matahari di ufuk barat senja hari.

karyaku :)
Semoga bermanfaat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar